Senin, 28 Juli 2014

Yang Aneh Pada Bailout untuk Bank Century

Perseteruan tentang kasus Bank Century tak kunjung selesai. Sudah banyak pejabat negara yang dipanggil untuk diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama pejabat negara yang terkait dengan keuangan negara Republik Indonesia di era tahun 2008-2009. Gubernur Bank Indonesia yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia dan juga Menteri Keuangan di tahun itu yang kini menjadi salah satu Manager di International Monetary Fund (IMF) juga tak luput dari panggilan KPK.

Penulis mencoba mengikuti kasus ini, banyak yang dipanggil untuk memberikan kesaksian, tetapi belum jelas siapa tersangkanya. Hingga pada akhirnya, ditetapkanlah oleh KPK salah satu mantan Deputi Bank Indonesia, Budi Mulya. Berdasarkan ulasan di majalah Tempo yang terbit periodel 21-27 Juli 2014, halaman 79-82, judul “Vonis Pembuka Kotak Pandora”, ijinkan penulis berkomentar.

Awalnya, ketika sering mendengar persoalan Bank Century, beragam isu keuangan dan juga politik negara dimainkan di sini. Karena kekhawatiran Komisi Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) akan munculnya kembali krisis keuangan seperti terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 silam, maka disepakati diberikanlah kepada bank milik seorang bernama Robert Tantular ini Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Perbedaan pendapat yang terjadi antara mantan Wapres, Jusuf Kalla dengan Boediono dan Sri Mulyani juga terang-terangan disampaikan di media. Oleh Jusuf Kalla disampaikan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan di tahun 2008-2009, krisis yang melanda Eropa dan Amerika Serikat tidak berpengaruh besar pada perekonomian Indonesia, Jusuf Kalla pun menilai bahwa pemberian PFJP merupakan langkah keliru yang pada akhirnya justru merugikan negara. Lain dengan pendapat yang disampaikan oleh Boedino dan Sri Mulyani, mereka menilai langkah tersebut tepat, bahkan termasuk diri penulis berpendapat, bahwa demi terjaganya kurs dan juga meredam kepanikan masyarakat, bahkan untuk menghindari terjadinya ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan maka disalurkanlah FPJP ini kepada Bank Century. Penulis menilai, perbedaan yang terjadi antara kedua belah pihak di atas tak lebih dikarenakan cara pandang masing-masing pihak, Jusuf Kalla sebagai insan ekonomi mikro sedangkan Boediono dan Sri Mulyani sebagai insan ekonomi makro.

Lama kelamaan mulai terkuak apa yang sebenarnya terjadi, setelah dilakukan serangkaian penyelidikan terhadap kasus ini. Dalam surat dakwaan yang dibacakan pada siding putusan Budi Mulya, ada upaya yang dilakukan sedemikian rupa agar penyaluran FPJP tetap dapat dilaksanakan. Rasio kecukupan modal (CAR) yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia melalui Peraturan bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tanggal 29 Oktober 2008 untuk bank yang akan mendapatkan FPJP adalah 8 persen. Setelah dilakukan penghitungan CAR Bank Century ternyata didapati bahwa CAR dari bank Century adalah 2,35 persen. Untuk mengakali hal itu, pada 14 November 2008 Dewan Gubernur Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/30/2008 untuk merevisi aturan sebelumnya. Aturan baru menyebutkan bank pemohon FPJP hanya wajib memiliki CAR positif, asalkan tidak minus.

Setelah dana Rp. 689,39 miliar mengucur ke Bank Century, baru diketahui bahwa CAR Century adalah minus 3,53 persen. Belakangan diketahui CAR yang menyatakan bahwa Century plus 2,35 persen adalah kadaluarsa karena menggunakan laporan September tahun 2008, alias kadaluarsa satu bulan. Setelah FPJP terbukti tak ampuh, satu-satunya cara adalah menyerahkan bank Century ke KKSK yang diketuai oleh Sri Mulyani. KKSK hanya bisa mengambil alih Century jika kasus Century ini dapat membawa dampak sistemik bagi perbankan nasional. Pada waktu itu, diketahui bahwa tidak semua pejabat BI setuju dengan penetapan Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik, alasannya Bank Century tergolong bank kecil yang total asetnya hanya 0,72 persen dari perbankan nasional. Namun, pada akhirnya Bank Century tetap ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik. Hingga pada akhirnya BI menyurati KKSK pada 20 November 2008, isinya menyatakan agar Century diberi bantuan lagi sebesar Rp. 1,77 trilyun agar CAR nya bisa mencapai 8 persen. Sebelum surat disetujui Sri Mulyani, menurut Jaksa sekretaris KKSK, Raden Pardede meminta agar angka Rp. 1,77 trilyun diubah menjadi Rp. 632 miliar, BI pun menurut pada KKSK, dan surat itupun ditandatangani oleh Sri Mulyani. Setelah itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mengambil alih Century. Berkali-kali dilakukan pemberian bantuan, hingga Juni 2009 LPS sudah memberikan dana sebesar Rp. 6,73 triliun kepada Century.

Sebagai tambahan informasi, dilaporkan bahwa Budi Mulya pernah meminjam dana sebesar Rp. 1 miliar, yang menurut infonya dana itu sudah ia kembalikan. Namun KPK tidak hanya menyoroti sekedar pada pengembalian dana tersebut, terlepas apakah sudah dikembalikan atau belum dana tersebut, yang jelas sudah ada semacam kesepakatan atau bisa juga disebut balas budi, sehingga itu sebabnya Budi Mulya begitu kokoh ingin mengajukan FPJP untuk Century. Selain itu, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antara Budi Mulya dana Robert Tantular, jajaran BI pun memiliki kepentingan dengan Century, karena di bank tersebut ada deposito milik Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia sebesar Rp. 80 miliar, jika Century dinyatakan ditutup, maka dana yang dijamin oleh LPS maksimal Rp. 2 miliar.

Sungguh luar biasa, bagaimana tidak, bank yang di era tahun 2008-2009 tidak terdengar suaranya karena kurang pupuler di kalangan masyarakat biasa, mendadak menjadi bahan pemberitaan dan perbincangan seantero nusantara, bahkan dunia. Menurut penulis, beberapa kejanggalan yang mencuat adalah, pertama, setelah diketahui bahwa CAR nya di bawah 8 persen, mengapa tetap diupayakan cara agar bailout bisa tetap dilaksanakan, dengan diterbitkan peraturan baru? Yang kedua, penghitungan nilai CAR yang keliru, bagaimana mungkin orang-orang ekonomi terbaik yang dimiliki Indonesia, yang ditempatkan di Bank Sentral bisa melakukan kesalahan sebesar itu, dengan menghitung berdasarkan data yang sudah kadaluarsa? Yang ketiga, mengapa perlu dikeluarkan pernyataan bahwa bank Century adalah bank gagal yang berdampak sistemik, padahal diketahui asetnya amat kecil, sehingga tidak berpengaruh terhadap perbankan nasional, seharusnya waktu itu itu cukup dikatakan bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Keempat, mengapa ada semacam negosiasi nilai FPJP, bahkan akhirnya terkesan dimanipulasi agar dapat disetujui oleh ketua KKSK? Kelima, Mengapa LPS bisa terus menerus memberikan bailout sementara kesehatan Century tidak juga membaik, bagaimana bisa keluar angka hingga Rp. 6,73 triliyun tanpa sepengatuhan KKSK, apakah KKSK tidak melakukan pengawasan setelah kebijakan bailout dilaksanakan? Yang keenam, seakan-akan seperti sudah direncanakan bahwa Robert Tantular harus menghilang dan sulit ditemukan, supaya KPK pun kesulitan untuk mengungkap kebenaran yang terjadi di balik ini semua.

Terus terang, pada awalnya penulis amat yakin dengan kapabilitas dan kredibilitas serta integritas dari pejabat-pejabat keuangan negara, dalam hal ini BI, KKSK, maupun internal Kementerian keuangan, namun seiring berkembangnya kasus ini, semakin terkuak bahwa sepertinya ada skenario besar yang dimainkan oleh mereka, entah untuk siapa mereka melakukannya, yang jelas ini sudah merugikan negara dan juga membawa kemunduran bagi keberadaan kaum cendekia dari bidang keuangan di Republik ini.. Semoga segera teruangkap kebenaran sejatinya.