Kamis, 25 September 2014

"Gaya Katak" dalam Dunia Kerja

Ada seorang pejabat baru di lingkungan tempatku bekerja. Kebetulan jabatannya cukup strategis, namun ia bukanlah orang yang menjadi pucuk pimpinan, semacam berada di level supervisor begitulah. Baru pertama kali bertemu pun, jujur saja, aku tidak terlalu simpatik, rasa-rasanya bapak satu ini pribadi yang kurang menyenangkan.

Hari demi hari berlalu, mungkin saja ia sudah mulai "merasa nyaman" dengan kursi barunya. Di periksalah segala arsip-arsip pekerjaan sebelumnya, seolah-olah ia seperti paling mengerti dan paling menguasai pekerjaanku ini, mulailah ia mengernyitkan dahi, memijat-mijat keningnya, seakan-akan ia benar-benar pusing dan suntuk dengan jabatan baru yang diembannya. Tetapi ternyata, hal yang dilakukannya itu hanyalah akal piciknya saja untuk mencari informasi sedalam-dalamnya, yah.. apalagi kalau bukan untuk kepentingan pribadinya, ia ingin perolehan pendapatan yang lebih besar.

Akal bulus akal licik dikeluarkannya terus, dipanggilnya aku tiap hari, bahkan sehari tak cukup hanya memanggilku sekali atau dua kali, bisa dipanggilnya tiga atau bahkan lima kali terkadang. Jujur saja, muak dan lelah aku jika harus berhadapan dengannya di ruangan yang hanya diisi kami berdua. Karena ketika di ruangan tersebut ada orang lain, akan manis-manis dan idealis bicaranya, tetapi jika sudah kami berdua, segala hal yang manis hanyalah jadi pemanis, bahasa kerennya sekarang adalah Pencitraan!...

Trik-trik yang penuh dengan keculasan pun ia mainkan, seperti gaya berenang "katak", demi tujuan yang ingin ia peroleh, tak segan-segan ia menendang dan menyapu orang-orang lain di sekitarnya, tetapi untuk urusan ke atas, ia tak segan-segan menyembah pimpinan, bahkan menjilat pantat pimpinan jika diperlukan. Jahat memang, terlebih yang membuatku semakin mengelus dada, ternyata ia sesungguhnya sudah mendengar bahwa karyawan-karyawan lain sudah mengetahui kelicikan dan kekikirannya, tetapi dengan nada sombong dan bodohnya ia menjawab :"ya kan tidak apa-apa, toh ini kan menjadi hak supervisor".. Oh My God, ada ternyata orang yang tidak memiliki malu seperti dia. "Saru pak,, saru banget, mbok yo insaf", spontan kami berujar.

Seperti hari ini, ketika perolehannya sudah berada di angka yang sangat tinggi, sudah meningkat 20 persen dari penerimaan yang sebelumnya, dengan gampangnya dia berkata, "saya ingin penerimaan selanjutnya lebih tinggi lagi". Astaga... kok sepertinya kurang terus rejeki yang ia terima, seakan-akan ia ingin memakan dunia seisinya, benar-benar pribadi yang rakus, serakah, kikir, bodoh, sekaligus tidak tahu diri. Bukannya bersyukur, ia malahan menggerutu ketika menerima rejeki yang begitu besarnya bukan main.

Silahkan saja diambil, silahkan saja dinikmati sendiri, atidak usah hiraukan kami yang hanyalah karyawan rendah ini, kami percaya bahwa kehidupan kelak akan memberikan pelajaran bagi anda...Semoga.

 

Selasa, 09 September 2014

Prinsip Ekonomi yang salah dimengerti...

Aneh tapi nyata, itulah yang mampu saya katakan ketika ada seseorang yang ingin berbisnis tetapi tidak ingin mengeluarkan pengorbanan sama sekali. Mengapa saya bisa berkata demikian? kira-kira begini ceritanya...

Kebetulan saya menjabat sebagai bendahara di salah satu instansi. Sebagai bendahara tentu tidak jauh-jauh dari urusan uang, karena mengelola keuangan adalah tugas pokok dari seorang bendahara. Karena judulnya tadi "mengelola keuangan", tidak heran banyak orang datang kepada saya untuk minta bantuan, biasanya mereka kasbon (menerima penghasilan di depan, sebelum waktunya penghasilan tersebut dibayarkan sesuai jadwal sebenarnya). Bermacam-macam tujuan orang kasbon, mulai dari karena kebutuhan yang benar-benar mendesak sampai pada kebutuhan yang sifatnya konsumtif belaka. Untuk tujuan yang terakhir ini, saya amat jarang merilis bantuan kasbon mereka. 

Kembali ke topik aneh tapi nyata tadi, dua hari terakhir ini secara berturut-turut ada pegawai yang menghadap ke saya, pegawai yang pertama menyampaikan kepada saya bahwa ia ditawari sebuah rumah oleh orang sedang butuh uang segera, karena ia belum punya rumah, maka ia sangat tertarik untuk membelinya, namun tabungannya tidak mencukupi, kemudian dia mencoba menanyakan apakah saya bisa membantunya, dengan catatan dia sanggup dipotong gaji selama sepuluh bulan berturut-turut. Saya jelas langsung menolak untuk membantunya, kemudian saya coba carikan solusi untuk dia, pertama, saya arahkan dia untuk meminjam dana di perbankan atau koperasi, saya sampaikan kalau meminjam uang di perbankan atau di lembaga koperasi untuk tujuan membeli rumah, hal tersebut amat sangat dimaklumi dan itu bukanlah kredit yang sifatnya konsumtif, namun jawabannya kepada saya adalah ia enggan membayar bunga, dia sampaikan kalau lebih baik dana untuk membayar bunga tersebut digunakan untuk membeli sebuah telepon genggam baru. Solusi kedua saya adalah untuk menjual aset yang dimilikinya, dan betapa terkejutnya saya ternyata ia memiliki mobil untuk berangkat kerja ke kantor, saya pun memintanya untuk dijual guna mencukupi biaya pembelian rumah yang ia inginkan. Atas solusi kedua saya ini, ia pun menjawab bahwa ia membutuhkan mobil untuk berangkat ke kantor, karena tanpa mobil maka ia akan merasa lelah karena harus berpindah-pindah angkot, dan karena kelelahan di jalan dikhawatikan hasil dari pekerjaannya tidak akan maksimal. 

Saya mulai tidak simpati dengan pegawai ini, karena menurut saya untuk mencapai tujuannya ia tidak mau mengorbankan sama sekali, baik uang untuk membayar bunga pinjaman maupun mengorbankan kenyamanannya demi sebuah rumah impian. Obrolan pun terus berlanjut, walaupun menurut saya obrolan itu sudah tidak berguna, hanya membuang waktu saya saja, hingga pada akhirnya entah keceplosan atau memang ia berupaya jujur bahwa niat akhir dari membeli rumah yang ditawarkan kepadanya adalah untuk dijual lagi, oh my God...pegawai ini memang benar-benar kikir dan culas pikir saya, kalaupun ia berniat beli-jual rumah untuk bisnis, seharusnya tidak menjadi masalah jika harus membayar bunga pinjaman, karena saya yakin keuntungan dari penjualan rumah itu akan mampu menutupi biaya bunga pinjaman, masih bisa untuk membeli sebuah telepon genggam yang diinginkannya, malahan pula masih bisa untuk ditabung untuk digunakan sebagai modal beli-jual rumah selanjutnya.. Dan obrolan tak berguna itu pun berakhir.

Keesokan harinya, ada lagi pegawai yang menemui saya untuk meminjam dana "murah", ya, saya katakan dana murah karena dengan kasbon ataupun meminjam kepada saya, maka mereka tidak perlu membayar bunga. Kali ini ada pegawai yang ingin berbisnis hewan kurban. Pola permainan dan kecenderungan watak pegawai ini kurang lebih saja dengan pegawai pertama yang ingin beli-jual rumah tadi. Karena saya sedang sibuk, saya langsung to the point, maaf saya tidak bisa, karena kas yang ada di bendahara tidak mencukupi. Selesai perkara. 

Dari dua peristiwa yang saya ceritakan di atas, saya ingin tegaskan bahwa memang betul bahwa berbisnis sah-sah saja manakala bisnis itu adalah bisnis yang tidak melanggar undang-undang, melakukan bisnis dengan menerapkan prinsip ekonomi pun sah-sah saja, malahan kalau menurut saya itu perlu, tetapi jangan ditelaah secara dangkal, dalam prinsip ekonomi diperoleh pengertian upaya untuk meningkatkan kesejahteraan melalui perolehan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, camkan sekecil-kecilnya!, bukannya tanpa pengorbanan sama sekali. Konyol memang tapi itulah yang saya temui dua hari terakhir ini.....