Selasa, 20 Mei 2014

Masih Perlukah Pendidikan Formal?

Beberapa tahun terakhir, pada jaman pemerintahan Bapak SBY, Indonesia mencanangkan program pendidikan yang membuat masyarakat yang tadinya menganggap pendidikan sebagai barang mahal, menjadi berbalik pemikirannya. Itu karena pemerintah menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20 persen dari total APBN. Jumlah yang sungguh besar, yang dapat menunjukkan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh untuk memberantas kebodohan di negeri ini. Biaya pendidikan di tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menegah Atas yang statusnya negeri, dijamin oleh pemerintah, tidak hanya di situ, pemerintah juga menganggarkan dan menyalurkan anggaran pembelian buku bagi para siswa. Meskipun sempat menjadi ajang korupsi bagi para oknum guru dan kepala sekolah di beberapa daerah, namun berkat perbaikan manajemen, pengelolaan dana bantuan pendidikan dapat berubah ke arah yang baik.

Selain memikirkan siswa, pemerintah juga memikirkan nasib kaum pahlawan tanpa tanda jasa, sejak era kepemimpinan Bapak SBY, pemerintah memberian tunjangan kepada guru yang sudah memiliki sertifikat sebagai tenaga pendidik, tunjangan ini dinamakan tunjangan sertifikasi guru. Besarannya signifikan jika dibandingkan dengan take home pay guru sebelumnya. Selain dari pemerintah pusat, pemerintah daerah juga menyambut baik ajakan pemerintah pusat untuk sama-sama memikirkan pendidikan di daerahnya masing-masing. Mereka mulai merenovasi sekolah-sekolah yang bangunannya sudah tidak layak untuk sarana belajar-mengajar, dan beberapa daerah yang "mampu" juga turut memikirkan kesejahteraan kaum guru di daerahnya.

Menjelang akhir kepemimpinan di tingkat eksekutif dan legislatif, isu-isu pendidikan juga biasanya diangkat, mereka menjanjikan bahwa jika kelak caleg atapun capres/calon kepala daerah terpilih, maka masyarakat akan  diberikan pendidikan gratis dengan standar kualitas terbaik. Lalu sebenarnya bagaimana dengan kualitas caleg/capres/calon kepala daerah yang akan kita pilih? Apakah mereka juga insan-insan yang berpendidikan? Atau mereka hanya sekedar menggunakan pendidikan sebagai promosi untuk meraih jabatan dan kekuasaan?

Dalam Pemilu Legislatif yang telah bangsa Indonesia laksanakan, menurut data Kompas, Senin 19 Mei 2014 hal 5, Sultani dan Toto menulis bahwa hampir sembilan puluh persen anggota Dewan yang baru saja terpilih bertaraf pendidikan strata 1 dan 2. Ada secercah harapan bahwa kelak para wakil rakyat yang baru terpilih ini akan berdiskusi dengan berbagai sudut pandang sesuai dengan bidang ilmu mereka, dan karena bidang ilmu mereka beraneka ragam, maka mereka semua akan saling melengkapi, sehingga diharapkan akan diperoleh produk undang-undang yang mewadahi segenap lapisan masyarakat.

Lain halnya dengan Pemilu Eksekutif (pilpres), dalam peraturan yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), salah satu persyaratan yang diwajibkan untuk mengajukan diri sebagai presiden dan wakil presiden RI adalah WNI dengan minimal pendidikan SLTA. Terasa ganjil membaca salah satu persyaratan ini, karena untuk menjadi seorang pegawai negeri atau karyawan  swasta dengan posisi "agak tinggi" saja diperlukan calon pegawai dengan taraf pendidikan strata 1, dan untuk level manajer, lebih dicari mereka yang berpendidikan strata 2, sedangkan KPU mensyaratkan seorang lulusan SLTA untuk memikirkan arah dan tujuan bangsa sebesar bangsa Indonesia.Apakah ini masuk akal? Universitas-universitas di negara kita baik yang negeri maupun swasta setiap tahunnya melahirkan puluhan ribu sarjana baru maupun lulusan pascasarjana, tetapi mengapa seakan sulit mencari presiden yang memiliki gelar kesarjanaan?

Hal tersebut tentu bertentangan dengan program pencerdasan bangsa, mereka yang lulusan SLTA merasa tidak perlu memiliki pendidikan tinggi, toh juga lulusan SLTA cukup untuk melamar menjadi presiden RI. Tentu hal ini melukai civitas akademika di setiap universitas di Indonesia. Kaum intelektual akan merasa bahwa kepintaran akademik yang mereka miliki tidak dihargai oleh negaranya sendiri.

Namun di sisi lain, di sini saya tidak ingin meng-underestimate mereka yang lulusan SLTA, belum tentu juga mereka yang berpendidikan tinggi mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa, karena kebanyakan mereka yang berpendidikan tinggi justru menggunakan kepintarannya untuk mengambil keuntungan bagi pribadi maupun partainya.

Lalu pemimpin yang tepat seperti apa?

Yang patut jadi pemimpin itu mereka yang memiliki kemampuan akademik, entah strata 1, 2 ataupun 3, tentunya gelar akademik tersebut benar-benar ditempuh sesuai dengan jalur resmi, bukan dengan berlaku curang dengan melakukan plagiarisme ataupun pembelian ijazah yang akhir-akhir ini marak terjadi. Selain bertaraf pendidikan tinggi, pemimpin juga harus memiliki hati yang bersih, jujur dan mulia. Semoga Indonesia mendapatkan pemimpin terbaiknya....