Jumat, 03 April 2015

Ada yang menarik ketika saya mengikuti Misa malam Kamis Putih di gereja St. Catharina, TMII. Waktu itu misa dipimpin oleh Romo Paroki, Yustinus Ardianto,PR. Dalam khotbah singkat namun mengena yang disampaikan oleh Romo Yus, ada 4 makna dari peringatan Kamis Putih.

Pertama, Kamis Putih merupakan awal mula terjadinya ekaristi. Pada malam terakhir sebelum Yesus wafat, ia melakukan perjamuan terakhir, Ia memecah roti dan menuangkan anggur dalam cawan, Yesus berpesan "lakukanlah ini akan peringatan kepadaKu".  Hingga kini ekaristi dilakukan setiap hari Minggu ataupun hari raya umat Katolik. 

Kedua, Kamis Putih merupakan lahirnya hukum yang baru, yakni hukum saling mengasihi dan melayani. Yesus membasuh kaki para murid, Ia ingin menunjukkan bahwa meskipun ia guru/rabbi, Ia tak sungkan untuk melakukan sesuatu hal yang pada waktu itu dianggap sebagai tindakan rendahan. Yesus mengungkapkan bahwa hendaklah kalian hidup dalam Iman, Harapan, dan Kasih. Dan di antara ketiganya, Kasih lah yang diutamakan.

Ketiga, Malam Kamis Putih merupakan malam terakhir Yesus hidup di dunia, Ia berkumpul bersama muridNya, melakukan perjamuan terakhir, berpesan kepada murid-muridNya agar meneruskan apa yang sudah mereka lakuka selama ini bersama Yesus. Sebagai manusia biasa, tentu Yesus takut akan kematian, tapi Ia tetap percaya bahwa itu semua sudah menjadi takdir yang harus dilaluiNya.

Keempat, Malam Kamis Putih merupakan malam pengkhianatan. Yesus mengetahui bahwa Ia akan diserahkan oleh muridNya sendiri, yakni Yudas Iskariot. Selain Yudas, Petrus pun ikut mengkhianati Yesus dengan menyangkalNya sebanyak tiga kali. Dikhianati oleh orang yang dekat dengan kita tentu amatlah menyakitkan, dan Yesus mengalami hal tersebut pada malam ketika Ia diserahkan kepada Imam Kepala.

Begitu pentingnya makna Kamis Putih, maka amatlah berdosa ketika kita tidak memperingatinya, kita biarkan Yesus sendirian dalam kesedihan dan ketakutan. Untuk itu, hadirlah dalam Misa Malam Kamis Putih dan juga Tuguran.  Tuhan memberkati...

Rabu, 21 Januari 2015

Nasib Mobil Tua

Mendengar wacana yang digulirkan oleh pemerintah DKI Jakarta, bahwa dalam rangka mengurangi angka kemacetan di jalanan Ibukota, maka pemerintah daerah akan mengurangi jumlah kendaraan dengan usia di atas 10 tahun. Mungkin Pemda DKI mencontoh kebijakan yang diberlakukan di Singapura, di mana memang di Singapura, mobil yang usianya di atas 10 tahun, tidak diperbolehkan lagi berada di negeri tersebut. 

Banyak polemik yang muncul terkait wacana tersebut, yang paling akan merasakan dampaknya adalah masyarakat pemilik kendaraan yang usianya di atas 10 tahun. Mereka yang memiliki kendaraan tersebut tentu dengan berbagai alasan, pertama, mereka ingin memperhatikan kualitas kendaraan, karena jujur saja, mobil di awal tahun 2000 memiliki kualitas mesin dan eksterior bahan yang lebih baik dari mobil jaman sekarang, di mana mobil jaman sekarang karena ingin mengejar image "mobil murah", maka kualitas diturunkan oleh para produsen mobil tersebut. Kedua, disamping kualitasnya baik, karena pengaruh penyusutan nilai, mobil yang umurnya lebih dari 10 tahun ini relatif lebih bersahabat dengan kondisi saku masyarakat yang ingin memiliki kendaraan namun tidak ingin terjebak dalam urusan kredit kendaraan bermotor. Ketiga, bagi mereka yang paham akan nilai penyusutan kendaraan, mobil yang dibeli di tahun 2000 an akan mengalami nilai penyusutan yang nilainya lebih kecil dibandingkan jika membeli mobil baru dari dealer/agen, hal itu dikarenakan nilai penyusutan mobil tahun 2000 an sudah mendekati batas bawah, bahkan cenderung habis penyusutannya. Sebagai contoh, (dengan catatan kondisi mobil baik) di tahun 2012 anda membeli mobil baru merk Ford Everest tahun 2013 seharga 350 juta, kemudian anda ingin menjual mobil tersebut di tahun 2014, penyusutan yang akan anda rasakan cukup besar, karena harga mobil bekas merk Everest tahun 2012 seharga 250 s.d 280 juta, lain hal nya jika di tahun 2012 anda membeli mobil Ford Everest tahun 2004 seharga 160 juta, ketika anda ingin menjualnya di tahun 2014, harganya masih sekitar 140 juta, dari sana kita bisa tahu bahwa membeli mobil baru cenderung lebih rugi daripada membeli mobil second.

Untuk menjalankan niatan Pemda DKI tersebut, maka Pemda juga harus memikirkan bagaimana nasib mobil tua dan pemiliknya ini. Secara otomatis mobil tua tidak akan ada yang mau membeli, lalu mau dikemanakan mobil-mobil ini?  Apakah Pemda mampu mengganti rugi ? Kalau memang bisa, silahkan saja jika mau diperlakukan sama seperti pada saat peniadaan angkutan becak di Ibukota beberapa waktu lalu, di mana becak-becak tersebut dibeli kemudian ditenggelamkan di dasar laut untuk dijadikan rumpon ikan.

Lain lagi halnya dengan komunitas pemilik mobil tua seperti halnya willys, land rover, vw kodok, dll, mereka yang memiliki hobi mengoleksi dan mengendarai mobil tua, terancam akan kehilangan kesenangannya. Mereka yang selama ini dalam komunitas ikut bergerak dalam kegiatan-kegiatan positif, seperti : baksos, pertolongan pada korban bencana, akan kehilangan komunitasnya, dan tentunya pemerintah sendiri yang akan rugi karena ketidakadaan mereka. Sedikit ataupun banyak, peranan mereka tentu sangat berarti bagi kemanusiaan.

Jika memang yakin akan diberlakukan dan tidak ada kebijakan yang meringankan pemilik mobil tua, maka pihak yang akan merasakan dampak adalah Pemda lain, mereka akan menerima "buangan" mobil-mobil tua dari Jakarta. Tentu saja ini akan menambah kemacetan dan polusi di daerah lain. 

Masih banyak yang perlu dipikirkan untuk menetapkan kebijakan ini, apakah iya dengan membuang mobil tua maka Jakarta tidak akan macet lagi? Padahal pada kenyataannya justru mobil-mobil baru yang marak menghiasi jalanan Ibukota..