Sebagai penyuka mobil tua, saya sering sekali berurusan dengan montir. Bahkan boleh dibilang kalau mobil tua saya sering keluar masuk bengkel. Saya mempunyai sebuah landrover seri 2A tahun 1970. Saya hitung sudah lebih dari 6 montir/bengkel yang memegang mobil saya. Ada yang sudah tua sekali, tapi ada juga yang masih anak muda. Ada yang nakalan dan ada juga yang baik. Nakalan di sini maksudnya adalah suka memanipulasi data, spare yang baik dilaporkan rusak, harga di naikkan dari harga sebelumnya, bilangnya spare diganti baru padahal hanya di servis saja.
Tapi, ada satu yang saya amati. Ketika mobil saya berpindah rawatan, dari satu montir ke montir lain, ada sesuatu yang menunjukkan kepribadian dari setiap montir. Ya, montir-montir itu ada yang berkeluh kesah atas pekerjaan montir sebelumnya, dan ada juga yang hanya diam, menganalisis kerusakan, mencoba melakukan perbaikan tanpa menggerutu pekerjaan yang "kurang beres" dari montir sebelumnya. Jujur, saya kagum dengan pribadi yang kedua ini. Saya tahu bahwa lebih sulit kalau kita memperbaiki kerusakan yang merupakan kesalahan pekerjaan sebelumnya, tapi dia hanya diam tanpa menyalahkan montir sebelumnya. Biasanya pekerjaan montir yang tidak suka berkeluh kesah ini lebih baik daripada pekerjaan montir yang suka berkeluh kesah.
Sama saja sih dengan pekerjaan lain, pada intinya kalau suatu pekerjaan dilakukan dengan ikhlas niscaya hasilnya juga akan baik. Makanya sering kita temui jargon kerja cerdas, kerja tuntas, kerja ikhlas.. Sudahkan kita melakukan pekerjaan kita masing-masing dengan ikhlas?
Rabu, 21 Agustus 2019
Senin, 29 April 2019
Share pengalaman baby Rex.
Anak saya yang nomor tiga, Rex, sakit. Saya dan istri membawanya ke rumah Sakit tempat di mana dia lahir. Sebenarnya jarak RS itu dengan rumah kami lumayan jauh, tapi karena RS itu pernah menjadi RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak), maka kami lebih nyaman kalau dibawa ke sana.
Rex sakit batuk dan pilek, lumayan parah batuk dan pileknya, sampai2 dia akhirnya demam tinggi. Diagnosa dari dokter, ada infeksi pada saluran pernafasannya, itulah pemicu demamnya. Setelah di uap, ternyata juga tidak membawa perubahan besar, nafasnya masih seperti terganggu lendir. Dokter memutuskan kalau Rex harus rawat inap.
Saya dan istri tidak masalah kalau Rex harus rawat inap, hanya saja saya tidak tega kalau anak kami yang masih berusia 7 bulan harus di infus. Benar saja, ternyata tidak bisa hanya sekali Rex dipasangi jarum infus, sekali dicoba di ruang transit ketika akan masuk kamar, setelah itu dua kali di ruang IGD, percobaan keempat di lakukan oleh yang katanya ahli, tapi tetap saja gagal. Saya tidak tega anak saya menangis meraung-raung.
Esok paginya, dokter melakukan visit. Dia dengan "pede" bilang kalau keputusannya tepat, karena dengan infus pasti anak akan lebih cepat segar. Lalu saya tunjukkan kepadanya bahwa anak saya belum diinfus. Dengan malu bercampur emosi, dokter itu lalu marah-marah kepada suster yang melaksanakan jaga pada waktu itu. Akhirnya dokter menanyakan kepada saya, untuk dicoba lagi oleh perawat di NICU, konon katanya perawat di sana ahlinya ahli untuk memasangkan infus. Dan syukurlah percobaan itu langsung berhasil.
Setelah berhasil di pasang infus, Suster pasang alat yang bisa mendeteksi kalau cairan infus tersumbat, maka si alat tersebut akan berbunyi. Karena indikatornya hanya itu, maka setiap kali berbunyi, saya tekan bel utk panggil suster, dan Suster pun datang.
Setelah 4 Jam pemasangan infus, baby Rex menangis terus menerus, bahkan hampir 3 Jam dia rewel. Awalnya kami kira dia lapar, tetapi disuapi tidak mau, kami kira dia haus, diberi minum juga tidak mau. Digendong pun masih menangis. Dari tangisannya kami tau dia kesakitan.
Akhirnya saya lihat kok tangannya besar sebelah. Tangan baby Rex yang dipasang infus jadi besar seperti tangan Popeye, dipegang pun sudah keras sekali, seperti balon yg terisi udara full. Itu karena cairan infus tidak masuk ke dalam pembuluh darah melainkan masuk ke jaringan tangan.
Segera saya panggil Suster, dan kami minta supaya dicopot alat infusnya, dan baby Rex tidak saya ijinkan utk dipasang infus lagi, semua obat harus obat minum (bukan injeksi)!!
Masa iya niat berobat kok malah nambah sakit, habislah dokter jaga sama Suster jaga di situ kena omelan kami. Dan sampai 3 jam setelah omelan kami, tangan baby Rex masih dikompres tangannya oleh suster-suster jaga secara bergantian.
Kami kecewa betul dengan pelayanan RS ini, semenjak menjadi RSU, RS ini menjadi menurun kualitasnya. Padahal tidak murah biaya yang setiap pasien keluarkan untuk bisa sehat kemabali. Perlu kami sampaikan bahwa kelas kami di VVIP, nah kalau pelayanan di VVIP saja seperti ini, bagaimana dengan pelayanan di kamar di bawah kelas tersebut. Mengapa pos standby Suster yang hanya berjarak 8 meter dari kamar kami tidak mau mengecek pasien setiap dua jam sekali? Mereka justru meminta keluarga pasien yang mengawasi infus tersebut. Mengecewakan!!
Sebagus dan secanggih apapun alat, anak kita itu adalah alarmnya”, bukan hanya alarm yg dipasang di alat infus itu. Saya menyesal baru mengetahui kesakitan anak saya setelah tiga jam.
Semoga kita selalu diberi kesehatan..amin
Anak saya yang nomor tiga, Rex, sakit. Saya dan istri membawanya ke rumah Sakit tempat di mana dia lahir. Sebenarnya jarak RS itu dengan rumah kami lumayan jauh, tapi karena RS itu pernah menjadi RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak), maka kami lebih nyaman kalau dibawa ke sana.
Rex sakit batuk dan pilek, lumayan parah batuk dan pileknya, sampai2 dia akhirnya demam tinggi. Diagnosa dari dokter, ada infeksi pada saluran pernafasannya, itulah pemicu demamnya. Setelah di uap, ternyata juga tidak membawa perubahan besar, nafasnya masih seperti terganggu lendir. Dokter memutuskan kalau Rex harus rawat inap.
Saya dan istri tidak masalah kalau Rex harus rawat inap, hanya saja saya tidak tega kalau anak kami yang masih berusia 7 bulan harus di infus. Benar saja, ternyata tidak bisa hanya sekali Rex dipasangi jarum infus, sekali dicoba di ruang transit ketika akan masuk kamar, setelah itu dua kali di ruang IGD, percobaan keempat di lakukan oleh yang katanya ahli, tapi tetap saja gagal. Saya tidak tega anak saya menangis meraung-raung.
Esok paginya, dokter melakukan visit. Dia dengan "pede" bilang kalau keputusannya tepat, karena dengan infus pasti anak akan lebih cepat segar. Lalu saya tunjukkan kepadanya bahwa anak saya belum diinfus. Dengan malu bercampur emosi, dokter itu lalu marah-marah kepada suster yang melaksanakan jaga pada waktu itu. Akhirnya dokter menanyakan kepada saya, untuk dicoba lagi oleh perawat di NICU, konon katanya perawat di sana ahlinya ahli untuk memasangkan infus. Dan syukurlah percobaan itu langsung berhasil.
Setelah berhasil di pasang infus, Suster pasang alat yang bisa mendeteksi kalau cairan infus tersumbat, maka si alat tersebut akan berbunyi. Karena indikatornya hanya itu, maka setiap kali berbunyi, saya tekan bel utk panggil suster, dan Suster pun datang.
Setelah 4 Jam pemasangan infus, baby Rex menangis terus menerus, bahkan hampir 3 Jam dia rewel. Awalnya kami kira dia lapar, tetapi disuapi tidak mau, kami kira dia haus, diberi minum juga tidak mau. Digendong pun masih menangis. Dari tangisannya kami tau dia kesakitan.
Akhirnya saya lihat kok tangannya besar sebelah. Tangan baby Rex yang dipasang infus jadi besar seperti tangan Popeye, dipegang pun sudah keras sekali, seperti balon yg terisi udara full. Itu karena cairan infus tidak masuk ke dalam pembuluh darah melainkan masuk ke jaringan tangan.
Segera saya panggil Suster, dan kami minta supaya dicopot alat infusnya, dan baby Rex tidak saya ijinkan utk dipasang infus lagi, semua obat harus obat minum (bukan injeksi)!!
Masa iya niat berobat kok malah nambah sakit, habislah dokter jaga sama Suster jaga di situ kena omelan kami. Dan sampai 3 jam setelah omelan kami, tangan baby Rex masih dikompres tangannya oleh suster-suster jaga secara bergantian.
Kami kecewa betul dengan pelayanan RS ini, semenjak menjadi RSU, RS ini menjadi menurun kualitasnya. Padahal tidak murah biaya yang setiap pasien keluarkan untuk bisa sehat kemabali. Perlu kami sampaikan bahwa kelas kami di VVIP, nah kalau pelayanan di VVIP saja seperti ini, bagaimana dengan pelayanan di kamar di bawah kelas tersebut. Mengapa pos standby Suster yang hanya berjarak 8 meter dari kamar kami tidak mau mengecek pasien setiap dua jam sekali? Mereka justru meminta keluarga pasien yang mengawasi infus tersebut. Mengecewakan!!
Sebagus dan secanggih apapun alat, anak kita itu adalah alarmnya”, bukan hanya alarm yg dipasang di alat infus itu. Saya menyesal baru mengetahui kesakitan anak saya setelah tiga jam.
Semoga kita selalu diberi kesehatan..amin
Minggu, 10 Maret 2019
"Terimakasih, nanti Tuhan yang membalas ya..."
Dari sejak kecil saya sudah diajarkan oleh orang tua untuk selalu mengucapkan terimakasih setelah menerima pemberian dari orang lain, baik itu pemberian yang wujudnya barang ataupun pemberian yang berwujud pertolongan dari orang lain.
Orang tua saya juga mengajarkan untuk melupakan setiap pemberian yang pernah saya berikan untuk orang lain, sebaliknya saya harus mengingat setiap pemberian yang saya terima dari orang lain. Maka dari itu, saya selalu berupaya membalas setiap kebaikan yang pernah saya terima.
Saya terus terang kurang simpati dengan apa yang sering orang katakan setelah menerima pemberian, "terimakasih, nanti Tuhan yang membalas ya". Lho.. siapa yang menerima pemberian, kok Tuhan yang disuruh membalas? Kecuali memang kalau kita memberi bantuan kepada anak yatim piatu, korban bencana alam, orang yang tidak punya jabatan dan harta sedikitpun. Tapi manakala orang yang menerima bantuan itu adalah orang yang punya jabatan atau harta, apakah betul ia tidak bisa membantu suatu saat kelak kalau orang yang saat ini memberikan pertolongan gentian membutuhkan pertolongan?
Maksud saya dari tulisan ini adalah untuk mengingatkan saya sendiri dan juga anda, supaya membalas setiap kebaikan orang lain dengan cara apapun itu, kalaupun kita tidak melakukan kebaikan kepada orang yang pernah menolong kita karena mereka memang tidak pernah meminta pertolongan dari kita, maka lakukanlah kebaikan kepada orang lain yang memang memerlukannya. Saya jadi ingat film "Pay it Forward".
Selamat berbuat baik.
Langganan:
Postingan (Atom)