Kamis, 03 April 2014

Airport Tax Yang Mencekik

Airport Tax Yang Mencekik


Pada tahun 2013 yang lalu ada beberapa bandara yang tampak sedang berbenah untuk mempercantik diri dengan merenovasi atau membangun infrastruktur bandaranya. Pembangunan yang dimaksud adalah pembangunan bandara secara fisik, ada yang menambah fasilitas baru, merenovasi yang sudah ada, atau bahkan membangun bandara baru seperti halnya bandara Kualanamu, Medan.

Secara penampilan tentu bandara yang sudah menata dirinya itu tampil menjadi bandara yang lebih gagah, mewah, dan juga anggun secara fisik, Namun bagaimana dengan kualitas manajemennya?

Di awal April tahun 2014 ini, PT. Angkasa Pura menaikkan tarif pajak bandara atau yang lebih dikenal dengan istilah airport tax. Dari yang semula di kisaran Rp.40.000,- naik menjadi Rp.75.000,-. Kenaikannya luar biasa, nyaris 100%. Jumlah yang cukup fantastis, di saat maskapai berlomba memberikan tiket murah kepada para calon penumpangnya, pihak bandara justru membebani penumpang pesawat dengan pajak bandara yang tinggi. Alasan pihak bandara menaikkan airport tax adalah untuk mengganti biaya investasi yang sudah dikeluarkan pihak Angkasa Pura. Apakah demikian langkah yang harus ditempuh? 

Bandara memiliki beberapa sumber pendapatan. Dari bermacam-macam pendapatan tersebut, dikelompokkan menjadi dua kelompok pendapatan, pertama adalah pendapatan yang berasal dari penerbangan, dan yang kedua adalah pendapatan yang berasal dari non penerbangan. Jika berbicara pendapatan penerbangan, maka selalu ada nilai surplus di sana, sebab mulai dari pesawat masuk pengawasan tower suatu bandara, penggunaan landasan, berjalan di taxiway, ground handilng hingga parkir, semuanya dikenai biaya oleh bandara, itulah yang disebut dengan pendapatan penerbangan. Sedangkan pendapatan non penerbangan meliputi penyewaan ruang untuk counter maskapai, penyewaan ruang untuk counter pengusaha jasa atau barang dagangan, penyewaan ruang untuk reklame, parkir kendaraan penumpang/pengantar, sewa ATM, dan masih banyak lagi yang sifatnya pendapatan non penerbangan.  

Tahun lalu, masih digunakan sistem gabungan antara divisi aeronautika/penerbangan dengan divisi non aeronautika/non penerbangan, namun sejak tahun 2013 akhir sudah dipisahkan antara kedua divisi tersebut. Dengan sumber pendapatan yang digabung, pada akhirnya akan terjadi penilaian prestasi yang sama. Ya, kepada divisi pendapatan akan muncul satu penilaian saja. Seiring dengan dipisahkannya divisi pendapatan, menjadi pendapatan penerbangan dan pendapatan non penerbangan, maka penilaian akan prestasi pun menjadi dua penilaian, penilaian prestasi untuk divisi penerbangan dan penilaian untuk divisi non penerbangan. Seperti penulis kemukakan di atas bahwa dari segi penerbangan, tidak masalah untuk memberikan kontribusi yang positif kepada perusahaan, terlebih jika bandara tersebut melayani rute-rute internasional, karena jika bandara melayani penerbangan internasional, tarif yang mereka berlakukan lebih tinggi jika dibandingkan dengan melayani penerbangan domestik. 

Lalu bagaimana dengan divisi non penerbangan?

Divisi non penerbangan tentu juga diberi target oleh manajemen untuk mengumpulkan pendapatan dalam jumlah tertentu setiap tahunnya melalui Rencana Kerja dan Anggaran yang mereka susun setiap tahun. Mungkin saja kenaikan airport tax yang saat ini terjadi merupakan salah akibat dari perubahan sistem manajemen pendapatan bandara. Karena divisi penerbangan dan non penerbangan dipisah, dan setiap divisi diminta untuk memberikan kontribusi yang baik kepada perusahaan, maka diambillah kebijakan menaikkan tarif airport tax

Menurut penulis, kebijakan tersebut kurang tepat dan amat disayangkan. Di saat negara kita sedang bergeliat untuk membangun, di saat setiap daerah berlomba-lomba untuk menonjolkan kelebihan-kelebihan daerahnya dengan pariwisata terbaik yang dimilikinya, pihak Angkasa Pura justru menaikkan tarif airport tax yang sungguh tidak sejalan dengan program pemerintah. Semestinya bukan jalan menaikkan airport tax yang harus ditempuh, alih-alih untuk mengembalikan biaya investasi yang sudah dikeluarkan bandara, masih banyak jalan lain yang dapat ditempuh, apalagi investasi merupakan biaya yang tidak serta merta secepat kilat dapat dikembalikan kepada manejemen pusat, melainkan dilakukan secara bertahap dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Jika alasan lain adalah karena terget yang harus dikejar oleh divisi non penerbangan, toh juga kebijakan pemberlakuan perhitungan sewa ruang yang dilakukan bandara sudah cukup menekan para pelaku usaha di sekitar bandara, artinya pendapatan yang diterima bandara juga sudah cukup besar dari segi penyewaan ruang. Sebagai ilustrasi untuk pembaca, jika pembaca menyewa ruangan di bandara untuk melakukan usaha, maka akan dihitung berapa biaya sewa per meternya, untuk dikalikan dengan luas ruangan tersebut, setelah itu selama pelaku usaha memperoleh omzet, maka pihak bandara akan mengenakan conssetion fee dari omzet yang pelaku usaha terima. Selain itu pengenaan tarif parkir berdasarkan sistem progresif tentunya dapat menolong untuk mencapai target yang ditetapkan. Selain itu yang utama dan pertama adalah mengenai penetapan rencana kerja dan anggaran, semestinya lebih memikirkan kondisi riil di lapangan, tidak hanya sekedar di angan-angan belaka, selain itu jangan hanya memikirkan bagaimana caranya memperoleh pendapatan sebesar-besarnya, namun hendaknya juga dipikirkan bagaimana menekan pengeluaran/biaya-biaya, terutama biaya operasional. Tidak semestinya bandara yang merugi diberikan bonus yang sama dengan bandara yang memiliki prestasi baik.

Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi kita semua, khususnya pihak manajemen Angkasa Pura...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar