Perseteruan tentang kasus Bank Century tak kunjung selesai.
Sudah banyak pejabat negara yang dipanggil untuk diselidiki oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama pejabat negara yang terkait dengan
keuangan negara Republik Indonesia di era tahun 2008-2009. Gubernur Bank
Indonesia yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia dan juga Menteri
Keuangan di tahun itu yang kini menjadi salah satu Manager di International
Monetary Fund (IMF) juga tak luput dari panggilan KPK.
Penulis mencoba mengikuti kasus ini, banyak yang dipanggil
untuk memberikan kesaksian, tetapi belum jelas siapa tersangkanya. Hingga pada
akhirnya, ditetapkanlah oleh KPK salah satu mantan Deputi Bank Indonesia, Budi
Mulya. Berdasarkan ulasan di majalah Tempo yang terbit periodel 21-27 Juli
2014, halaman 79-82, judul “Vonis Pembuka Kotak Pandora”, ijinkan penulis
berkomentar.
Awalnya, ketika sering mendengar persoalan Bank Century, beragam
isu keuangan dan juga politik negara dimainkan di sini. Karena kekhawatiran
Komisi Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) akan munculnya kembali krisis keuangan
seperti terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 silam, maka disepakati
diberikanlah kepada bank milik seorang bernama Robert Tantular ini Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Perbedaan pendapat yang terjadi antara mantan
Wapres, Jusuf Kalla dengan Boediono dan Sri Mulyani juga terang-terangan
disampaikan di media. Oleh Jusuf Kalla disampaikan bahwa tidak ada yang perlu
ditakutkan di tahun 2008-2009, krisis yang melanda Eropa dan Amerika Serikat
tidak berpengaruh besar pada perekonomian Indonesia, Jusuf Kalla pun menilai
bahwa pemberian PFJP merupakan langkah keliru yang pada akhirnya justru
merugikan negara. Lain dengan pendapat yang disampaikan oleh Boedino dan Sri
Mulyani, mereka menilai langkah tersebut tepat, bahkan termasuk diri penulis
berpendapat, bahwa demi terjaganya kurs dan juga meredam kepanikan masyarakat,
bahkan untuk menghindari terjadinya ketidakpercayaan masyarakat terhadap
lembaga perbankan maka disalurkanlah FPJP ini kepada Bank Century. Penulis
menilai, perbedaan yang terjadi antara kedua belah pihak di atas tak lebih
dikarenakan cara pandang masing-masing pihak, Jusuf Kalla sebagai insan ekonomi
mikro sedangkan Boediono dan Sri Mulyani sebagai insan ekonomi makro.
Lama kelamaan mulai terkuak apa yang
sebenarnya terjadi, setelah dilakukan serangkaian penyelidikan terhadap kasus
ini. Dalam surat dakwaan yang dibacakan pada siding putusan Budi Mulya, ada
upaya yang dilakukan sedemikian rupa agar penyaluran FPJP tetap dapat
dilaksanakan. Rasio kecukupan modal (CAR) yang dipersyaratkan oleh Bank
Indonesia melalui Peraturan bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tanggal 29
Oktober 2008 untuk bank yang akan mendapatkan FPJP adalah 8 persen. Setelah
dilakukan penghitungan CAR Bank Century ternyata didapati bahwa CAR dari bank
Century adalah 2,35 persen. Untuk mengakali hal itu, pada 14 November 2008
Dewan Gubernur Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/30/2008 untuk merevisi aturan sebelumnya. Aturan baru menyebutkan bank pemohon
FPJP hanya wajib memiliki CAR positif, asalkan tidak minus.
Setelah dana Rp. 689,39 miliar
mengucur ke Bank Century, baru diketahui bahwa CAR Century adalah minus 3,53
persen. Belakangan diketahui CAR yang menyatakan bahwa Century plus 2,35 persen
adalah kadaluarsa karena menggunakan laporan September tahun 2008, alias
kadaluarsa satu bulan. Setelah FPJP terbukti tak ampuh, satu-satunya cara
adalah menyerahkan bank Century ke KKSK yang diketuai oleh Sri Mulyani. KKSK
hanya bisa mengambil alih Century jika kasus Century ini dapat membawa dampak
sistemik bagi perbankan nasional. Pada waktu itu, diketahui bahwa tidak semua
pejabat BI setuju dengan penetapan Century sebagai bank gagal dan berdampak
sistemik, alasannya Bank Century tergolong bank kecil yang total asetnya hanya
0,72 persen dari perbankan nasional. Namun, pada akhirnya Bank Century tetap
ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik. Hingga pada akhirnya BI
menyurati KKSK pada 20 November 2008, isinya menyatakan agar Century diberi
bantuan lagi sebesar Rp. 1,77 trilyun agar CAR nya bisa mencapai 8 persen.
Sebelum surat disetujui Sri Mulyani, menurut Jaksa sekretaris KKSK, Raden
Pardede meminta agar angka Rp. 1,77 trilyun diubah menjadi Rp. 632 miliar, BI
pun menurut pada KKSK, dan surat itupun ditandatangani oleh Sri Mulyani. Setelah
itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mengambil alih Century. Berkali-kali
dilakukan pemberian bantuan, hingga Juni 2009 LPS sudah memberikan dana sebesar
Rp. 6,73 triliun kepada Century.
Sebagai tambahan informasi,
dilaporkan bahwa Budi Mulya pernah meminjam dana sebesar Rp. 1 miliar, yang
menurut infonya dana itu sudah ia kembalikan. Namun KPK tidak hanya menyoroti
sekedar pada pengembalian dana tersebut, terlepas apakah sudah dikembalikan
atau belum dana tersebut, yang jelas sudah ada semacam kesepakatan atau bisa
juga disebut balas budi, sehingga itu sebabnya Budi Mulya begitu kokoh ingin
mengajukan FPJP untuk Century. Selain itu, konflik kepentingan tidak hanya
terjadi antara Budi Mulya dana Robert Tantular, jajaran BI pun memiliki
kepentingan dengan Century, karena di bank tersebut ada deposito milik Yayasan
Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia sebesar Rp. 80 miliar, jika Century
dinyatakan ditutup, maka dana yang dijamin oleh LPS maksimal Rp. 2 miliar.
Sungguh luar biasa, bagaimana tidak,
bank yang di era tahun 2008-2009 tidak terdengar suaranya karena kurang pupuler
di kalangan masyarakat biasa, mendadak menjadi bahan pemberitaan dan
perbincangan seantero nusantara, bahkan dunia. Menurut penulis, beberapa
kejanggalan yang mencuat adalah, pertama, setelah diketahui bahwa CAR nya di
bawah 8 persen, mengapa tetap diupayakan cara agar bailout bisa tetap dilaksanakan, dengan diterbitkan peraturan baru?
Yang kedua, penghitungan nilai CAR yang keliru, bagaimana mungkin orang-orang
ekonomi terbaik yang dimiliki Indonesia, yang ditempatkan di Bank Sentral bisa
melakukan kesalahan sebesar itu, dengan menghitung berdasarkan data yang sudah
kadaluarsa? Yang ketiga, mengapa perlu dikeluarkan pernyataan bahwa bank
Century adalah bank gagal yang berdampak sistemik, padahal diketahui asetnya
amat kecil, sehingga tidak berpengaruh terhadap perbankan nasional, seharusnya
waktu itu itu cukup dikatakan bank gagal yang tidak berdampak sistemik.
Keempat, mengapa ada semacam negosiasi nilai FPJP, bahkan akhirnya terkesan
dimanipulasi agar dapat disetujui oleh ketua KKSK? Kelima, Mengapa LPS bisa
terus menerus memberikan bailout
sementara kesehatan Century tidak juga membaik, bagaimana bisa keluar angka
hingga Rp. 6,73 triliyun tanpa sepengatuhan KKSK, apakah KKSK tidak melakukan
pengawasan setelah kebijakan bailout
dilaksanakan? Yang keenam, seakan-akan seperti sudah direncanakan bahwa Robert
Tantular harus menghilang dan sulit ditemukan, supaya KPK pun kesulitan untuk
mengungkap kebenaran yang terjadi di balik ini semua.
Terus terang, pada awalnya penulis
amat yakin dengan kapabilitas dan kredibilitas serta integritas dari
pejabat-pejabat keuangan negara, dalam hal ini BI, KKSK, maupun internal
Kementerian keuangan, namun seiring berkembangnya kasus ini, semakin terkuak
bahwa sepertinya ada skenario besar yang dimainkan oleh mereka, entah untuk
siapa mereka melakukannya, yang jelas ini sudah merugikan negara dan juga
membawa kemunduran bagi keberadaan kaum cendekia dari bidang keuangan di
Republik ini.. Semoga segera teruangkap kebenaran sejatinya.