Selasa, 09 September 2014

Prinsip Ekonomi yang salah dimengerti...

Aneh tapi nyata, itulah yang mampu saya katakan ketika ada seseorang yang ingin berbisnis tetapi tidak ingin mengeluarkan pengorbanan sama sekali. Mengapa saya bisa berkata demikian? kira-kira begini ceritanya...

Kebetulan saya menjabat sebagai bendahara di salah satu instansi. Sebagai bendahara tentu tidak jauh-jauh dari urusan uang, karena mengelola keuangan adalah tugas pokok dari seorang bendahara. Karena judulnya tadi "mengelola keuangan", tidak heran banyak orang datang kepada saya untuk minta bantuan, biasanya mereka kasbon (menerima penghasilan di depan, sebelum waktunya penghasilan tersebut dibayarkan sesuai jadwal sebenarnya). Bermacam-macam tujuan orang kasbon, mulai dari karena kebutuhan yang benar-benar mendesak sampai pada kebutuhan yang sifatnya konsumtif belaka. Untuk tujuan yang terakhir ini, saya amat jarang merilis bantuan kasbon mereka. 

Kembali ke topik aneh tapi nyata tadi, dua hari terakhir ini secara berturut-turut ada pegawai yang menghadap ke saya, pegawai yang pertama menyampaikan kepada saya bahwa ia ditawari sebuah rumah oleh orang sedang butuh uang segera, karena ia belum punya rumah, maka ia sangat tertarik untuk membelinya, namun tabungannya tidak mencukupi, kemudian dia mencoba menanyakan apakah saya bisa membantunya, dengan catatan dia sanggup dipotong gaji selama sepuluh bulan berturut-turut. Saya jelas langsung menolak untuk membantunya, kemudian saya coba carikan solusi untuk dia, pertama, saya arahkan dia untuk meminjam dana di perbankan atau koperasi, saya sampaikan kalau meminjam uang di perbankan atau di lembaga koperasi untuk tujuan membeli rumah, hal tersebut amat sangat dimaklumi dan itu bukanlah kredit yang sifatnya konsumtif, namun jawabannya kepada saya adalah ia enggan membayar bunga, dia sampaikan kalau lebih baik dana untuk membayar bunga tersebut digunakan untuk membeli sebuah telepon genggam baru. Solusi kedua saya adalah untuk menjual aset yang dimilikinya, dan betapa terkejutnya saya ternyata ia memiliki mobil untuk berangkat kerja ke kantor, saya pun memintanya untuk dijual guna mencukupi biaya pembelian rumah yang ia inginkan. Atas solusi kedua saya ini, ia pun menjawab bahwa ia membutuhkan mobil untuk berangkat ke kantor, karena tanpa mobil maka ia akan merasa lelah karena harus berpindah-pindah angkot, dan karena kelelahan di jalan dikhawatikan hasil dari pekerjaannya tidak akan maksimal. 

Saya mulai tidak simpati dengan pegawai ini, karena menurut saya untuk mencapai tujuannya ia tidak mau mengorbankan sama sekali, baik uang untuk membayar bunga pinjaman maupun mengorbankan kenyamanannya demi sebuah rumah impian. Obrolan pun terus berlanjut, walaupun menurut saya obrolan itu sudah tidak berguna, hanya membuang waktu saya saja, hingga pada akhirnya entah keceplosan atau memang ia berupaya jujur bahwa niat akhir dari membeli rumah yang ditawarkan kepadanya adalah untuk dijual lagi, oh my God...pegawai ini memang benar-benar kikir dan culas pikir saya, kalaupun ia berniat beli-jual rumah untuk bisnis, seharusnya tidak menjadi masalah jika harus membayar bunga pinjaman, karena saya yakin keuntungan dari penjualan rumah itu akan mampu menutupi biaya bunga pinjaman, masih bisa untuk membeli sebuah telepon genggam yang diinginkannya, malahan pula masih bisa untuk ditabung untuk digunakan sebagai modal beli-jual rumah selanjutnya.. Dan obrolan tak berguna itu pun berakhir.

Keesokan harinya, ada lagi pegawai yang menemui saya untuk meminjam dana "murah", ya, saya katakan dana murah karena dengan kasbon ataupun meminjam kepada saya, maka mereka tidak perlu membayar bunga. Kali ini ada pegawai yang ingin berbisnis hewan kurban. Pola permainan dan kecenderungan watak pegawai ini kurang lebih saja dengan pegawai pertama yang ingin beli-jual rumah tadi. Karena saya sedang sibuk, saya langsung to the point, maaf saya tidak bisa, karena kas yang ada di bendahara tidak mencukupi. Selesai perkara. 

Dari dua peristiwa yang saya ceritakan di atas, saya ingin tegaskan bahwa memang betul bahwa berbisnis sah-sah saja manakala bisnis itu adalah bisnis yang tidak melanggar undang-undang, melakukan bisnis dengan menerapkan prinsip ekonomi pun sah-sah saja, malahan kalau menurut saya itu perlu, tetapi jangan ditelaah secara dangkal, dalam prinsip ekonomi diperoleh pengertian upaya untuk meningkatkan kesejahteraan melalui perolehan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, camkan sekecil-kecilnya!, bukannya tanpa pengorbanan sama sekali. Konyol memang tapi itulah yang saya temui dua hari terakhir ini..... 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar